Batubara, penanasional.id — Di tengah deru mesin industri yang tak pernah tidur, ada suara lain yang lirih, tapi menyesakkan dada. Itulah suara warga Desa Pematang Kuing, Kecamatan Sei Suka, yang setiap hari harus berjibaku di atas jalan kabupaten yang hancur parah — jalan yang seharusnya menjadi urat nadi menuju kawasan industri Kuala Tanjung, kini menjelma menjadi luka menganga di tubuh pembangunan. Senin, 20/10/2025
Setiap lubang di jalan itu seolah menjadi cermin retak dari janji pembangunan yang belum ditepati. Air menggenang, lumpur menebal, dan kendaraan melintas dengan rasa waswas. Alih-alih menjadi jalur ekonomi, jalan itu kini lebih layak disebut empang dadakan. Tak heran, masyarakat menertawakan kesedihan mereka dengan nada getir di media sosial:
“Ini ado bibet lele bg, ondak.”
“Masuk kan ikan lele dek.”
“Kalau bisa mengelak becek² tu, bisa lah buat SIM tes drive.”
“Aku pernah hampir jatuh di area itu, licin dan dalam lubangnya.”
Sarkasme warga itu bukan sekadar guyonan. Itu adalah teriakan kesal yang dibungkus tawa, kritik yang disampaikan dengan bahasa rakyat — sederhana namun menghujam.
Mereka tidak meminta banyak. Mereka hanya ingin jalan yang layak dilalui, jalan yang bisa mereka percaya, bukan jalan yang menelan ban, lumpur, bahkan nyawa.
Ironinya, jalan yang rusak parah ini bukan jalan pelosok tak bernama. Ini adalah jalan kabupaten, jalan strategis yang berjarak hanya beberapa kilometer dari kawasan industri Kuala Tanjung — kawasan yang disebut-sebut sebagai jantung ekonomi baru Kabupaten Batu Bara.
Sebuah kawasan yang dibanggakan dalam pidato, difoto dalam baliho, namun seolah buta terhadap penderitaan jalan menuju ke sana. Apakah mungkin dinas-dinas terkait tidak mengetahui kondisi jalan ini?
Rasanya mustahil.
Truk-truk industri melintas setiap hari, pejabat pun tak jarang melewatinya. Namun entah mengapa, mata mereka tampak terbuka tapi pandangannya tertutup. Seolah jalan ini bukan urusan mereka, padahal inilah nadi utama yang menghubungkan rakyat dengan denyut ekonomi daerah.
Setiap kali roda kendaraan melindas lubang, setiap kali cipratan lumpur membasahi kaki anak sekolah, ada doa yang menggantung di udara: “Kapan jalan ini diperbaiki?” Doa yang mungkin tak pernah sampai ke meja rapat atau telinga kekuasaan.
Jika benar pembangunan adalah tentang kesejahteraan, maka jalan Pematang Kuing ini adalah bukti bahwa kesejahteraan belum menyentuh tanah. Karena di sini, yang berputar bukan hanya roda ekonomi, tapi juga roda penderitaan rakyat kecil. Dan di antara genangan lumpur itu, harapan masyarakat masih bergetar — menunggu ada yang peduli, menunggu ada yang datang membawa perubahan. (MSR)
Redaksi | PENA Nasional
